Jumat, 13 November 2009

Psikolog cowok N cewek

Psikologi Suami Istri, Memahami Karakter Dasar Pria dan Wanita

Awal Ramadhan lalu saya sempatkan untuk membaca buku Psikologi Suami Istri milik teman saya. Sudah dua-tiga bulan berada di tangan saya, namun hal lain lebih menyita perhatian saya dari buku itu. Karena buku 700 halaman itu lumayan memakan tempat di rak buku, saya harus segera mengembalikannya, dengan konsekuensi membacanya terlebih dahulu. Rasanya sayang jika ada ilmu dan pengetahuan baru untuk saya lewatkan begitu saja.

Sedikit mengikhtisarkan isi buku tersebut, karena memang tidak bisa di sebut resensi. Seratus halaman pertama saya baca dengan susah payah, karena saya teramat jenuh dan bosan membaca pembahasan yang bagi saya berulang-ulang dan bertele-tele. Memang ada beberapa tipe penulis yang seperti itu. Namun memang bukan salah si penulis, karena memang kadang saya merasa memiliki energi lebih untuk memikirkan atau melakukan sesuatu sehingga sering irama saya tidak sama dengan orang lain, dengan penulis buku yang saya baca atau dengan partner aktivitas. Hal ini kadang menjadi sumber kejengkelan saya karena menuduh orang lain terlalu lambat dan sebagainya. Begitu juga untuk selera musik, meski bisa menikmati lagu-lagu melow, saya lebih sering mendengarkan musik dengan beat cepat, diiringi dentum drum yang dinamis dan atraktif, lengkap dengan bass dan suara pelengkap lain dari mixer dan turn table. Lagu jedug-jedug lah… Seorang sahabat sampai berkata, “Tolong kopikan lagu ya, mana aja yang kamu nggak suka,” karena dia lebih menyukai lagu-lagu berirama lembut.

Kembali ke irama buku, akhirnya saya memutuskan untuk membaca cepat. Baru sekali ini saya lakukan karena terkadang dalam buku-buku yang membosankan pun terselip sesuatu yang penting dan sangat mungkin untuk terlewat jika saya membaca cepat. Apa daya, banyak buku dan artikel lain yang juga menunggu untuk saya baca. Buku ini sedikit lebih komplit dari pada Men Are From Mars, Women Are From Venus yang juga pernah saya baca. Pelajaran pertama yang saya dapat, wanita menebarkan cinta, kedamaian, kebahagiaan dan kasih sayang saat berada di luar rumah dan mengistirahatkan pikiran dengan banyak berbicara saat di rumah. Saat berbicara wanita sering menggunakan prolog kesana-kemari yang bagi pria tidak ada hubungannya dengan persoalan inti.

Sementar saat keluar dari rumah, pria berada pada dunia perang dan persaingan yang menempatkan dia pada dua pilihan; di atas atau di bawah, menguasai atau dikuasai. Saat kembali ke rumah, energinya telah banyak habis sehingga dia memilih banyak menghabiskan waktu untuk diam dan aktifitas ringan seperti membaca koran dan menonton televisi. Bagaimana jika makhluk ini tinggal dalam satu atap? Bayangkan saja sendiri. Sering sekali kita mendengar keluhan seorang suami, “istriku cerewet sekali,” padahal orang-orang melihat sang istri tampak pendiam sepanjang bersama mereka.

Pelajaran kedua, dalam menghadapi berbagai permasalahan hidup, seorang wanita membutuhkan sebuah pengungkapan sebagai muara. Ada rasa mengganjal yang mengganggu jika semua hal dia simpan sendiri. Saat berumah tangga, mungkin dia akan banyak berbicara yang terdengar sebagai keluhan, tuduhan atau ketidak percayaan di telinga pria, yang tidak lain adalah suaminya. “Mas, sudah beberapa bulan ini kita selalu kekurangan uang belanja,” yang terdengar ditelinga suaminya, “kamu tidak bertanggung jawab terhadap keadaan keluargamu.”

“Jangan lupa, akhir pekan kita ke rumah ibu. Aku sudah menyiapkan bahan untuk memasak semur jengkol kesukaannya,” lanjut wanita itu yang tertangkap sebagai, “kamu selalu melupakan agenda yang sudah kita buat.” Seorang pria biasa berkata pendek, lugas dan sesuai inti masalah serta memiliki jalan pikiran yang berbeda dari wanita. Mereka hampir selalu menangkap kalimat istrinya sebagai sesuatu yang lain. Pada awalnya mungkin dia akan menjawab, “Tenanglah, semua akan baik-baik saja.” Rasa tanggung jawab memberinya ide untuk kalimat semacam itu, sambil memikirkan bagaimana jalan pemecahannya.

Pria dan wanita dibesarkan dalam dunia yang berbeda. Sejak kecil wanita terbiasa dan menyukai permainan sosial seperti pasar-pasaran, mini-minian (apa itu namanya ya, standing character kecil dari kertas karton yang menyertakan banyak model baju dan gambar peralatan rumah) dan sebagainya. Sementara pria menyukai permainan kelompok atau persaingan dimana terdapat pemimpin dan anak buah, pemenang dan pecundang. Dengan hanya mengungkapkan, wanita akan merasa separuh masalah telah selesai. Komentar atau masukan dari seorang pria kebanyakan malah akan mengganggunya, karena bukan tanggapan seperti itu yang dia inginkan.

Di lain pihak, pria juga merasa terganggu karena saat istirahatnya terusik oleh seorang istri yang menuntut perhatiannya. Sementara itu, dalam menyelesaikan persoalan keluarga pria banyak berpikir dan bekerja sendiri. Di matanya, dia adalah seorang pemimpin dan hero bagi keluarganya. Selayaknya jika permasalahan itu dia selesaikan sendiri dan menghindarkannya dari campur tangan orang lain. Hal ini malah membuat pria terkesan sibuk sendiri dan tidak peduli di mata wanita. *saya bingung untuk menuliskan ini agar menjadi lebih mudah dimengerti. bacanya pelan-pelan ya*

Setelah sekian lama berumah tangga, mungkin satu-dua bulan atau beberapa bulan, seorang pria akan merasa jenuh ketika setiap hari, tujuh hari seminggu selalu bersama dengan seseorang yang membersamai hidupnya. Inilah masa untuk bertapa atau masuk kedalam goa, begitu beberapa pakar menyebut. Saat-saat ini suami membutuhkan sebuah kesendirian untuk memperbaharui perasaannya, bahkan dia akan merasa terusik dengan kehadiran seseorang yang dia cintai. Istri yang tidak mengerti akan merasa heran dengan perubahan sang suami, “Apakah dia sudah tidak mencintaiku lagi?” Oh my God!

Saat “kembali” suami telah memiliki energi dan kasih sayang baru untuk dicurahkan. Dia mendambakan kembali kedekatan seperti semula, atau bahkan lebih. Sayangnya, wanita itu masih terluka dengan sikap menghindar suaminya sehingga dia malah menjauh. Silahkan tebak bagaimana kelanjutan ceritanya. Saat bertapa ini akan selalu muncul dan memiliki irama waktu tersendiri. Istripun memiliki masa dimana dia akan surut, seperti gelombang di lautan, dan akan kembali seperti semula pada saatnya. Begitu penulis mengumpamakan seorang wanita. Sementara masa bertapa pria membuat karakternya seperti karet. Jika ditarik akan memanjang, menjauh sampai pada batasnya tidak dapat ditarik lagi. Kemudian akan kembali dengan cepat saat dilepas. Terlalu mengikat dan posesif memang bukan sebuah ungkapan cinta yang tepat. Kedua belah pihak, pasti masih ingin menjadi dirinya sendiri. Karena itu, Antum salah memilih pasangan jika menginginkan dia untuk berubah. Ini pelajaran ketiga yang saya dapat.

Pelajaran keempat, bagaimana cara meminta tolong yang tepat? Kebanyakan lebih kepada istri yang meminta tolong kepada suaminya. Mayoritas, seorang istri menjadi pekerja penuh cinta dirumahnya sendiri selama nyaris 24 jam. Mengurus anak, memasak, membersihkan rumah dan lainnya yang membuatnya seperti kehilangan waktu. Kadangkala, dia membutuhkan bantuan suami untuk pekerjaan-pekerjaan yang terkesan sepele. “Sayang, bisakah kau pindahkan sampah di teras ke bak depan?” (ciehh…), suara seorang perempuan dari arah dapur. Sang suami yang sedang mengerjakan sesuatu, tapi tidak mendesak, menyahut, “Ya…”. Sampai satu jam kemudian sampah itu belum berpindah tempat. “Bisakah kau jemput anak-anak dua jam lagi?” pinta seorang istri di ujung telepon. Dengan penuh rasa dongkol, dalam hati mungkin suami akan menjawab, “Tidak bisa!” meski dia tidak memiliki kesibukan apapun. Para suami mungkin bisa membantu menjawab kenapa begitu?

Dalam buku disebutkan, pria membutuhkan rasa penghormatan, penghargaan, perasaan dibutuhkan… (apalagi ya?). Kata “bisakah” seolah melibas sebagian dari kebutuhan pria tersebut. Seakan selama ini rpia tidak peduli dengan urusan keluarganya segingga kalimat bernada sangsi itu muncul. Seolah-olah pria adalah makhluk lemah yang patut diragukan atau bahkan tidak bisa melakukan sesuatu seperti membuang sampah dan menjemput anak-anak. Permintaan bantuan dengan nada perintah juga tidak akan berhasil, karena menempatkan pria secara inferior. Cara terbaik yang diusulkan, misalnya “Abi, tolong ambilkan buku resep di rak ya….” (cuit.. cuiiit !!!) Saya jadi ingat, orang-orang barat yang baik membiasakan untuk mengucapkan, “Please, Sorry, and Thanks” dalam mendidik anak-anaknya yang masih kecil.

Dalam buku juga dibahas perbedaan psikologi yang berhubungan dengan masalah seksual. Menurut saya bagus untuk dibaca, menjadi pelajaran kelima, namun tidak akan saya sampaikan disini. Mohon maaf jika saat Antum membaca buku tersebut, ternyata ada perbedaan dari yang saya sampaikan. Karena saat menulis ini buku itu sudah saya kembalikan ke pemiliknya.:)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar